
Saat ini paket undang-undang politik yang mencakup pemilu, pilkada, dan parpol sedang menjadi bahasan untuk diagendakan pada tahun 2026. Pembahasan paket undang-undang politik bisa menjadi momentum memperbaiki sistem politik. Puncak dari persoalan sistem politik adalah Pemilu 2024 lalu yang dianggap pemilu berbiaya tinggi. Politisi Gerindra Habiburokhman menyatakan bahwa beberapa anggota DPR menghabiskan sebesar 20-25 miliar rupiah untuk kampanye (Rahayu dan Harbowo, 2023). Prihatini dan Wardani (2024 menemukan bahwa caleg DPR RI menghabiskan biaya dalam kisaran 200 juta rupiah sampai 160 miliar rupiah, dengan rata-rata 5 miliar rupiah untuk caleg DPR RI perempuan. Salah satu penyebab dari mahalnya biaya politik Indonesia adalah budaya politik beli putus, antara calon dan pemilih serta calon dengan tim sukses. Aspinall dkk (2022) menyebut tim sukses dengan terminologi ad hoc teams. Model penggunaan ad hoc teams berbeda dengan pola mesin mobilisasi elektoral di Malaysia dan Filipina. Di Malaysia, partai politik memiliki struktur yang kuat dan terlembaga, sehingga loyalis dan kader partai bekerja dengan imbalan jangka panjang seperti posisi dan akses politik. Politik patronase yang berlaku di Malaysia lebih banyak berbentuk macro-particularism seperti penggunaan proyek pembangunan yang dapat diakses partai, sehingga loyalitas pemilih sudah terbangun melalui ikatan kepartaian.