
“Bos-bos (OPD) kami dipilih partai, Mas. Ya wajar dong kami ikut permainan di Pilkada.”
Kalimat itu meluncur dari seorang ASN, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Diucapkan sambil menyeruput kopi di Pardosir–sebuah kafe kecil di salah satu kabupaten di Sumatra Utara.
Saya tidak sedang melebih-lebihkan. Cerita itu mewakili pola yang berulang dalam birokrasi kita, di mana ASN tidak lagi berdiri di posisi netral, melainkan menjadi bagian dari strategi kekuasaan dalam pemilu dan pilkada. Birokrasi tidak benar-benar menjadi korban politik. Namun, justru mereka lebih memilih menjadi pemain dalam politik praktis, yang dampaknya akan berisiko pada posisi jabatan mereka.