
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi dan media sosial. Mereka tumbuh dalam era digital yang memberikan kebebasan berekspresi tanpa batas. Melalui berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, mereka dapat menampilkan identitas, minat, serta pandangan hidup mereka secara luas. Namun, di balik kebebasan ini, muncul pertanyaan besar: apakah mereka benar-benar bebas atau justru semakin terjebak dalam tekanan sosial yang diciptakan oleh media sosial itu sendiri?
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memberikan ruang untuk berekspresi, realitasnya sering berbeda bagi Gen Z. Media sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, tetapi juga arena persaingan yang tak terlihat. Standar kecantikan yang nyaris sempurna, gaya hidup mewah yang dipertontonkan, serta tuntutan untuk selalu tampil menarik sukses menciptakan tekanan yang luar biasa bagi Gen Z. Banyak dari mereka merasa harus mengikuti tren tertentu agar diterima oleh lingkungan sosialnya, bahkan jika itu bertentangan dengan keinginan dan kenyamanan pribadi mereka. Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi sarana ekspresi justru berubah menjadi ruang yang penuh tekanan di mana citra diri seseorang sering ditentukan oleh jumlah like , komentar, dan follower.
Dampak dari tekanan ini terlihat jelas dalam bagaimana Gen Z memandang diri mereka sendiri, terutama dalam hal citra tubuh dan gaya hidup. Lebih dari sekadar kebebasan berekspresi, gaya hidup Gen Z saat ini telah dipengaruhi oleh algoritma dan ekspektasi sosial yang tidak selalu realistis. Banyak individu yang merasa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial, yang pada akhirnya dapat memicu kecemasan, rendah diri, bahkan depresi. Dengan demikian, kebebasan yang ditawarkan media sosial sejatinya hanyalah ilusi. Alih-alih selalu bebas berekspresi, Gen Z justru semakin dikendalikan oleh tekanan sosial media yang menuntut kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Citra Diri dalam Tekanan Salah satu dampak terbesar dari tekanan media sosial adalah ketidakpuasan terhadap diri sendiri, terutama dalam hal citra tubuh dan gaya hidup. Standar kecantikan yang dipromosikan melalui media sosial mendorong remaja untuk membandingkan diri mereka dengan figur-figur ideal yang sering kali telah melalui proses penyuntingan atau filter digital. Akibatnya, banyak remaja merasa harus memenuhi ekspektasi ini agar dapat diterima oleh lingkungan mereka, meskipun hal tersebut bertentangan dengan kondisi mereka yang sebenarnya.