
Tarif impor sebesar 32 persen yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap produk asal Indonesia—termasuk garmen dan alas kaki—kembali mengingatkan kita betapa rentannya industri padat karya dalam negeri terhadap guncangan eksternal. Namun jika ditarik lebih jauh, kebijakan ini bukan sekadar masalah dagang. Ia menjadi cermin dari lemahnya sinergi antara visi jangka panjang dan pelaksanaan kebijakan di tingkat lapangan.
Padahal secara konsep, Indonesia sebenarnya telah memiliki arah. Melalui inisiatif nasional Making Indonesia 4.0, pemerintah telah menetapkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) —termasuk sektor garmen— sebagai salah satu dari lima sektor prioritas untuk transformasi industri. Tujuan besarnya adalah meningkatkan daya saing nasional melalui efisiensi produksi, adopsi teknologi, penguatan sumber daya manusia, dan bahkan transisi menuju ekonomi sirkular melalui inisiatif seperti Circular Fashion Partnership.
Namun pertanyaannya tetap relevan: sejauh mana roadmap ini benar-benar terasa di lantai produksi? Seberapa besar keberpihakan kebijakan terhadap sektor hilir seperti garmen, yang justru menjadi penyerap tenaga kerja terbesar?