Berita

[Fenomena Paradoks Mudik Lebaran: Krisis Kemanusiaan atau Tradisi?]

×

[Fenomena Paradoks Mudik Lebaran: Krisis Kemanusiaan atau Tradisi?]

Sebarkan artikel ini
[Fenomena Paradoks Mudik Lebaran: Krisis Kemanusiaan atau Tradisi?]
[Fenomena Paradoks Mudik Lebaran: Krisis Kemanusiaan atau Tradisi?]

Sebentar lagi puasa Ramahan akan usai, dan kita akan menjumpai “hari kemenangan”, yakni Idul Fitri 1446 Hijriyah. Tuntasnya puasa Ramadan, setidaknya membuncahkan narasi hati yang beragam. Ada perasaan sedih, tersebab kita akan berpisah dengan bulan yang penuh rahmat dan berkah, dan belum tentu Ramadhan berikutnya kita bisa menjumpainya kembali. Lazimnya sih membuncah perasaan senang (dan memang dianjurkan untuk senang), tersebab kita akan menjumpai Idul Fitri; saling bermaafan, merajut kohesi silaturahmi dan persaudaraan, yang kadang retak, bahkan terputus.

Fenomena kultural Idul Fitri tercermin dalam perayaan lebaran, ditandai dengan baju baru, plus banyak makanan nan lezat. Apalagi yang masih punya orangtua di kampung halamannya, dengan tradisi mudik lebarannya, akan semakin syahdu dan hikmat. Menurut estimasi Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kemenhub terdapat 146,48 juta perjalanan (52 persen dari total populasi), yang akan melakukan perjalanan mudik Lebaran. Namun di sisi lain, tradisi mudik Lebaran, pada batas tertentu menjadi tradisi dan fenomena sosio kultural yang salah kaprah, dan paradoks.

Pertama, adanya fenomena disparitas ekonomi antara masyarakat perkotaan ( urban society) dengan masyarakat perdesaan ( rural society ). Mudik Lebaran menjadi bukti bahwa konsentrasi dan perputaran uang masih di perkotaan, dan ekonomi perdesaan masih terpinggirkan. Idealnya jika spirit desentralisasi ekonomi itu benar-benar merata, maka fenomena mudik Lebaran dari kota besar ke kota kecil, atau bahkan dari kota kecil ke perdesaan, seharusnya makin mengempis pergerakan mudik Lebaran itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *