
Indonesia Emas telah menjadi tagline nasional yang terus menerus dinarasikan, terutama oleh para elit politik dalam berbagai forum, baik resmi maupun tidak resmi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Indonesia Emas digambarkan sebagai suatu keadaan dengan empat indikator, yaitu pendapatan per kapita setara negara maju, kemiskinan menuju 0% dan ketimpangan berkurang, kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat, dan daya saing sumber daya manusia meningkat. Sebuah cita-cita yang sangat ideal, tak hanya perubahan besar terjadi di masyarakat Indonesia, tetapi juga berpengaruh besar dalam pergaulan antarbangsa. Sementara di balik tagline yang sangat “memukau” itu, setiap saat publik menyaksikan fenomena yang sangat paradoks, yaitu terungkapnya kasus-kasus mega korupsi dengan segala variannya. Demikian dahsyatnya kasus-kasus mega korupsi itu, beredar flyer yang mengibaratkannya sebagai sebuah liga, dengan pemeringkatan dari kasus terbesar hingga terkecil: seolah sedang terjadi kompetisi antarinstitusi untuk menjadi yang paling “unggul” dalam menilap kekayaan negara. Dugaan kerugian yang mencapai ratusan bahkan jika diakumulasikan mencapai ribuan triliun itu ditilap “tikus dan kucing” yang berkeliaran di berbagai institusi pemerintahan yang berkolusi dengan pengusaha pemilik saham politik pejabat publik.
Benang Kusut Korupsi Kasus korupsi yang kini mewabah di berbagai institusi pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara, dan perusahaan pengadaan barang/jasa hampir tak ada pangkal dan ujungnya. Tak hanya sumber-sumber uang korupsinya yang beragam, tetapi juga aktor yang terlibat juga sangat banyak, mulai dari pejabat, birokrat, pengusaha, dan aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, peradilan hingga advokat. Semuanya berkubang dalam praktik kotor itu. Secara garis besar, sumber korupsi itu dapat menjadi dua bagian besar, yaitu korupsi APBN dan korupsi non-APBN. Jika dihitung berdasarkan nilai dari dua sumber korupsi dengan segala modusnya itu, tentu nilai akibat korupsi non APBN, terutama dari sektor sumber daya alam jauh lebih besar daripada korupsi APBN. Kasus korupsi di PT Pertamina, PT Antam, PT Timah, PT Duta Palma, PT TPPI, PT Asabri, PT Jiwasraya adalah beberapa contoh sektor non APBN yang nilai kerugiannya jauh lebih besar dibanding dengan kasus korupsi seperti Kemensos, Bank Century, BTS Kominfo, PUPR, dan Kementan. Belum lagi kasus-kasus korupsi di level pemerintah daerah (38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota) baik yang bersumber dari APBD maupun non APBD. Bumi Nusantara tak pernah merdeka dari korupsi dan terus dikepung oleh koruptor, dari ujung barat hingga timur, dari ujung utara hingga selatan. Tak hanya menggerogoti APBN/APBD, para koruptor juga terus merampok sumber daya alam yang sejatinya menjadi sumber APBN dan APBD untuk kemudian didistribusi oleh pemerintah menjadi layanan publik yang berkualitas. NKRI harga mati hanya jargon ketika sumber daya alam diobral untuk kepentingan sekelompok pengusaha yang berkongsi dengan penguasa, dengan mengabaikan hak-hak masyarakat sekitar dan kerusakan lingkungan yang maling luas. Para elit pengusaha yang hartanya berlimpah ruah dan tak akan habis hingga 10 turunan itu sangat sempurna bersekongkol dengan elit penguasa dalam menguasai sumber daya alam dan sektor-sektor besar, sementara rakyat masih banyak yang kelaparan, menghuni rumah reyot, jalanan berlumpur, kesulitan mendapatkan air bersih dan akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang rendah. Paradoks ini masih menghiasi bentangan Bumi Nusantara meskipun rezim terus berganti dengan klaim sebagai antisesis satu sama lain: Orde Baru antitesis atas Orde Lama, Orde Reformasi antitesis atas Orde Baru, SBY antitesis atas Mega, Jokowi antitesis atas SBY, dan Prabowo antitesis entah terhadap siapa. Bagai mimpi di siang bolong, pemberantasan korupsi dilakukan oleh pejabat berwenang yang juga diduga memiliki/terlibat dalam kasus korupsi. Kerusakan integritas sendi-sendi kehidupan bernegara saat ini hampir paripurna dengan maraknya penyalahgunaan wewenang di kalangan elit politik dan pengusaha dalam berbagai modus. Suara moral elit (yang masih di) pinggiran meneriakkan ketidakadilan tak berpengaruh sedikit pun dalam menahan laju korupsi. Aktor-aktor korupsi baru terus berkembang biak setiap kali pergantian kekuasaan. Para aktivis yang marah terhadap suatu rezim karena sarat korupsi dan ragam penyalahgunaan kekuasaan, umumnya tak banyak yang dapat mempertahankan idealisme dan integritasnya. Setelah menjadi bagian dari kekuasaan, mereka hanyut turut menikmati ke mana arah kapal berlayar.
Indonesia Emas Bebas Korupsi Indonesia Emas yang menjadi mimpi bersama 20 tahun ke depan terus didengungkan dalam konteks Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang tak kunjung membaik. Selama 20 tahun terakhir, dua periode Presiden SBY dan dua periode Presiden Jokowi yang sama-sama “berpidato” untuk memberantas korupsi, tak ada perubahan signifikan. Berdasarkan laporan Transparency International, IPK Indonesia masih berada di peringkat 100 ke atas dari 180 negara. Negara-negara Asia Tenggara lain yang sama dengan Indonesia adalah Thailand, Laos, Filipina, Kamboja, dan Myanmar. Sementara Malaysia, Timor Leste dan Vietnam skornya lebih baik, bahkan Singapura menjadi negara yang paling bersih (peringkat 3 dari 180 negara). Salah satu agenda penting dalam konteks pemberantasan korupsi adalah pengesahan RUU Perampasan Aset. RUU yang telah dibuat sejak 2008 ini diyakini menjadi kunci pemberantasan korupsi, namun hingga kini tak kunjung usai. Selama hampir 20 tahun, RUU ini hanya keluar masuk dalam Program Legislasi Nasional. Bahkan menjelang akhir kepemimpinan Presiden Jokowi, April 2023, RUU itu sudah ada di DPR, tetapi pembahasannya tak berjalan lantaran bertepatan dengan momen Pemilu 2024. Dengan aktor korupsi yang merata di berbagai institusi negara dan pemerintah sangat sulit mengharapkan pengesahan RUU menjadi UU mengingat RUU itu akan memangsa tuannya. Meskipun dalam berbagai jajak pendapat publik Politik Research and Consulting (PRC), baik selama penyelenggaraan Pemilu Presiden maupun Pilkada 2024 bahwa pemimpin yang jujur dan anti korupsi menjadi kriteria utama yang diharapkan oleh sebagian besar publik Indonesia (50 persen), namun sulit sekali dapat melahirkan pejabat publik yang sesuai kriteria tersebut. Dengan sistem pemilu dan rekrutmen pejabat publik yang sangat transaksional, timbal balik keuntungan antara pemilih dan yang dipilih, antara penguasa dan pengusaha, antara legislatif dan eksekutif, antara legislatif dan yudikatif, dan antara eksekutif dan yudikatif, jauh panggang dari api Indonesia dapat menjadi negara yang bersih, minimal seperti Malaysia, Timor Leste, dan Vietnam. Jangan bermimpi seperti Singapura. Sementara itu, di balik runyamnya pemberantasan korupsi dan besarnya harapan publik akan pemimpin yang jujur dan antikorupsi, dalam jajak pendapat nasional PRC (2020 dengan 2200 responden), sebanyak 95 persen publik memiliki harapan Indonesia menjadi negara besar dan maju pada 2045. Keadaan Indonesia yang dimimpikan menurut 70 persen publik yang memiliki harapan itu adalah “Indonesia yang maju dan makmur”. Maju dalam berbagai aspek, sebagian besar rakyat Indonesia hidup sejahtera, serba kecukupan dan tidak kekurangan. Dengan demikian, mengawali penyelenggaraan pemerintahan era Presiden Prabowo dengan pijakan RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029, bangsa Indonesia sedang bermimpi menjadi Indonesia Emas sekaligus sedang bermimpi memberantas korupsi. Publik sedangkan dipertontonkan sebuah adegan seolah sedang memberantas korupsi, padahal mereka yang kini “diborgol” itu hanyalah “operator lapangan”, tak menyentuh aktor intelektual yang sesungguhnya. Mungkin mereka sedang ngopi sambil cekikikan di sudut kafe sambil merancang korupsi yang lebih besar lagi untuk 20 tahun mendatang, ketika Indonesia Emas yang dimimpikan itu akan terwujud. Benar belaka apa yang dikatakan oleh Ray Dalio, miliarder Amerika Serikat yang beberapa minggu lalu menyampaikan ceramah di hadapan para menteri bahwa hambatan Indonesia menjadi negara maju antara lain tata kelola birokrasi, kemampuan menghasilkan modal, kemudahan berbisnis dan berwirausaha, serta strategi memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi bukan hanya menjadi salah satu penghambat, tetapi juga “penghambat utama” kemajuan, karena dari tiga hambatan tersebut semuanya mengandung unsur korupsi. Jika kemajuan suatu negara menggunakan skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM), negara-negara maju itu juga negara yang skor IPK-nya tertinggi. Denmark, Singapura, Norwegia, Swiss, Swedia, dan Australia tak hanya menjadi negara dengan IPM tertinggi, tetapi juga IPK tertinggi. Dengan IPK Indonesia yang berada di atas 100, maka IPM-nya juga berada di peringkat yang sama. Akankah korupsi bisa diberantas demi terwujudnya Indonesia Emas? Tampaknya hanya mimpi: mimpi memberantas korupsi sekaligus mimpi Indonesia Emas. Ian Suherlan peneliti Kebijakan Publik Politika Research and Consulting