
Rezim ekonomi yang baru saja lewat, setelah berpuluh tahun mengatasnamakan rasionalitas, ternyata hanya berujung pada pertumbuhan ekonomi yang stagnan/tertahan, rasio pajak yang terendah, pertumbuhan kredit yang rendah, dan rasio gini (ketimpangan) yang tinggi, Beberapa waktu sebelum akhirnya benar-benar tergusur dari pemerintahan, rumus dasar mereka: austerity atau pengetatan, pun sempat kita cicipi. Dan hasilnya adalah ledakan sosial, demonstrasi besar-besaran, pembakaran fasilitas publik, hingga penjarahan-penjarahan rumah pejabat. Struktur ekonomi yang sangat timpang ini, yang dicap “rasional” oleh sekalangan ekonom, menjadi api dalam sekam bagi siapapun Pemerintahan yang mewarisinya.
Seperti ditulis Thomas Kuhn (1962), kemajuan dari suatu ilmu itu tidak pernah lancar, proses yang kumulatif namun merupakan serangkaian revolusi-revolusi yang ditandai berbagai tahapan yang berbeda. Dalam konteks ilmu ekonomi, cara pandang ini mewujud dalam sebuah paradigma ekonomi. Paradigma dari kalangan yang mengatasnamakan ekonomi “rasional” ini menggunakan asumsi-asumsi, konsep-konsep, dan metode yang pada masanya diakui. Setelah sekian lama, paham ekonomi ini menjadi normal science, diakui umum sehingga paradigma ini semakin terartikulasi, berkembang dan diangap sebagai sebuah monopoli kebenaran. Hingga akhirnya datanglah sebuah anomali. Kondisi di mana banyak keadaan sudah tidak lagi bisa dijelaskan dengan paradigma yang ada. Dan terjadilah krisis. Dalam kondisi krisis inilah bandul paradigma yang baru bergerak ke arah yang sebaliknya, yang akan menjadi normal science di masa yang baru.
Ambil contoh soal keperluan efisiensi pada APBN. Paradigma ekonomi lama, dengan pendekatan rasionalitasnya, lebih memilih untuk memotong anggaran sebesar ratusan triliun yang seharusnya dialirkan untuk transfer ke daerah. Dalam kondisi daya beli yang lemah dan ketimpangan yang tinggi, langkah “rasional” tak ayal memicu kemarahan publik. Misalnya di Pati, Pemda yang kebingungan akhirnya memilih menaikkan pajak bumi dan bangunan dan malah menuai respon demonstrasi yang berujung pada krisis politik lokal dan menjalar hingga nasional. Rasionalitas ekonomi, yang mungkin bisa dibilang sebagai ekonomi “pengetatan”, telah membawa bencana sosial-politik yang mengerikan. Paska berlalunya bencana sosial-politik ini, sudah barang tentu Bangsa Indonesia memerlukan paradigma ekonomi yang baru.