
DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjadi Undang-Undang pada Kamis 20 Maret 2025 dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 masa persidangan II tahun sidang 2024-2025. Meskipun sudah disampaikan oleh Ketua DPR bahwa revisi UU TNI sesuai prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, hukum nasional dan hukum internasional, namun pengesahan RUU TNI menjadi Undang-Undang menimbulkan reaksi publik utamanya menanyakan tentang supremasi sipil dan pengalaman luka masa lalu Indonesia pada rezim militer Orde Baru. Poin yang harus dikritisi dalam revisi UU TNI di antaranya adalah abusive law making , autocratic legalism, dan reduksi supremasi sipil. Abusive Law Making Proses revisi UU TNI tidak mengindahkan partisipasi publik dan masyarakat sipil. Penyusunan dan pembahasan oleh Komisi I DPR dilakukan secara tertutup dan terburu-buru di hotel mewah di tengah isu efisiensi anggaran yang digaungkan oleh Presiden Prabowo. Praktik abusive law making seperti ini akan berakibat pada reaksi gejolak publik dan munculnya gerakan sosial. Dalam proses penyusunan RUU TNI terjadi penggerebekan oleh aliansi masyarakat sipil yang menunjukkan nihilnya meaningful participation .
Proses pembentukan RUU TNI hingga disahkan menjadi UU terlebih dilakukan pada masa sulit dan krisis dengan partisipasi masyarakat sipil yang rendah sudah menunjukkan inkonsistensi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut menyatakan bahwa pembentukan UU harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) . Tanpa partisipasi bermakna, maka pembentukan undang-undang dapat dikatakan melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty) , dan jelas menegasikan prinsip negara hukum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
Apabila memahami kutipan dari Seidman dan Teyler, partisipasi masyarakat publik merupakan kepentingan politik pembentuk hukum. Hanya dengan melakukan pembentukan secara terbuka dan pemenuhan partisipasi publik sajalah maka legitimasi didapatkan oleh pembentuk regulasi (Seidman, 1978; Tyler, 1990).