
Pendahuluan
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sri Nurherwati, mengungkapkan tantangan berat dalam mengeksekusi restitusi dari harta rampasan Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan 13 santriwati. Kasus ini, yang dimulai sejak 2022, masih menunggu eksekusi hingga saat ini, menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas sistem hukum Indonesia dalam melindungi korban.
Latar Belakang
Herry Wirawan, terpidana mati kasus pemerkosaan massal yang mengejutkan publik, memiliki harta rampasan yang seharusnya digunakan sebagai restitusi untuk korban. Namun, LPSK menghadapi hambatan serius dalam mengeksekusi harta tersebut, yang diharapkan dapat dilelang dan diberikan kepada korban sebagai ganti rugi.
Fakta Penting
“Sekarang kita belajar dari kasus Herry Wirawan yang sudah berlangsung sejak 2022 dan hingga kini belum terselesaikan,” ungkap Sri Nurherwati dalam diskusi daring Rabu (19/3/2025). Krisis eksekusi ini tidak hanya meresahkan korban, tetapi juga menunjukkan kelemahan sistem hukum dalam memastikan keadilan bagi korban perkosaan.
Dampak Sosial
Kesulitan LPSK dalam mengeksekusi restitusi Herry Wirawan menjadi simbol ketidakadilan yang lebih luas. Korban, yang sudah mengalami trauma dan penderitaan, harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan ganti rugi yang mereka deserve. Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan efisiensi lembaga-lembaga hukum di Indonesia.
Penutup
Krisis eksekusi restitusi Herry Wirawan menandakan perlunya reformasi sistem hukum yang lebih efektif dalam melindungi korban. Sampai masalah ini terselesaikan, korban dan masyarakat Indonesia terus menunggu janji keadilan yang lebih baik.